Pengetahuan dan Pencegahan DBD

Pengetahuan 

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk sebuah ilmu, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Tingkat pengetahuan manusia, jika dilihat dari sudut jasmani-inderawi, biasanya berupa pengalaman dan pengenalan manusia yang disebut konkret, maksudnya terikat pada tempat dan waktu tertentu. Namun berkat ingatan inderawi dan kemampuannya mengadakan perbandingan, kekhususan manusia yang lebih lanjut ialah bahwa dalam pengetahuannya-Ia dapat melepaskan diri dari keadaan kini dan di sini. Pengalamannya, yaitu menarik sesuatu yang umum dari pengetahuan konkret yang mendahuluinya. Pengetahuan itu diberi nama abstraksi dan hasilnya ialah pengetahuan abstrak.

Pencegahan 

Pencegahan merupakan segala upaya yang dilakukan untuk menghindari suatu keadaan yang tidak disenangi, mengatasi masalah-masalah kesehatan dan sebagai upaya untuk menghindari rasa takut. Tindakan itu diucapkan dan dikerjakan, serta ditujukan ke dunia sekitar, dan ditangkap oleh dunia tersebut, yakni dunia manusia, dunia sesama manusia serta dunia manusia dan sekitarnya. Dengan demikian gejala pencegahan sebagai tindakan terhadap keadaan yang tidak menguntungkan dengan harapan keadan yang tidak menguntungkan tersebut tidak muncul atau bahkan hilang dari dunia sekitar.

Proses ini menjadi jelas dalam upaya setiap tindakan untuk menyusun beberapa model. Model tersebut bermaksud menghadirkan pencegahan secara umum maupun pencegahan secara ilmiah. Ada dua macam pencegahan yang pada dasarnya saling melengkapi yaitu:

  • Pencegahan akan semakin mendekati apa yang menjadi objek ilmiah, mendekati objek ilmiah tersebut ataupun mau merubah objek yang secara ilmiah tertuju kepadanya. Agar pencegahan itu semakin berhasil, si peneliti membuat/menerangkan suatu model yang nyata. Seringkali model itu sangat memperkecil ukuran kenyataan tertentu dan seringkali juga sangat memperbesar kenyataan tertentu lain yang adanya diandaikan. Dan upaya ini selalu dilakukan dengan amat menyederhanakan kenyataan yang dihadapi. Yang diharapkan ialah suatu keadaan yang berdasarkan pencegahan. 
  • Pencegahan akan semakin tertuju pada apa yang menjadi objek ilmiah, seolah hendak merusak/menghancurkan susunan objek yang dicegah sedalamdalamnya. Dengan begitu, diharapkan akan didapatkan suatu perubahan keadaan yang semakin membaik/memburuk.


Pengendalian Lingkungan

Kecenderungan penyebaran penyakit DBD berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kepadatan, sanitasi lingkungan yang buruk serta mobilitas penduduk yang tinggi, baik yang menggunakan sarana transportasi di dalam kota maupun antar daerah. Disamping itu banyaknya pembangunan perumahan baru juga memberikan tempat bagi berkembang biaknya nyamuk aedes.aegypti. Hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 9 kota, menunjukkan bahwa nyamuk aedes aegypti ditemukan pada satu diantara tiga rumah atau tempat umum yang diperiksa. Tempat perindukan nyamuk ini yang paling potensial adalah tempat penampungan air seperti bak mandi/WC, tempayan, drum dan kaleng-kaleng bekas yang tidak terpakai.

Dalam pemberantasan penyakit DBD yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dengan cara membuat strata desa yaitu desa endemis dan non-endemis, intervensi yang dilakukan sesuai dengan strata tersebut. Untuk desa endemis, diadakan penyuluhan untuk masyarakat dengan pembentukan kader, pertemuan lintas sektoral dan juga pemutaran film. Untuk desa nonendemis, kegiatan yang dilakukan adalah pengamatan penderita dan partisipasi masyarakat dalam PSN yang merupakan kegiatan yang sangat murah sambil membudayakan hidup bersih.

Pengendalian Biologis

Karena upaya pengendalian DBD yang belum memberikan hasil memadai, maka diperlukan cara lain untuk membantu program pemberantasan vektor DBD, antara lain dengan Teknik Jantan Mandul yang lebih dikenal dengan Teknik Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik pengendalian vektor yang potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompatibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik ini meliputi iradiasi terhadap koloni serangga vektor pada berbagai stadium dan kemudian secara periodik dilepas kelapangan (lingkungan) atau lokasi yang diperkirakan serangga vektor cukup potensial,tingkat kebolehjadian teknik ini dari perkawinan antara serangga mandul dan serangga fertil menjadi makin besar dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Hal ini berakibat makin menurunnya persentase fertilitas populasi serangga di lapangan yang secara teoritis terjadi pada generasi ke-4 atau ke-5 menjadi titik terendah dimana populasi serangga menjadi nol. TJM atau Teknik Jantan Mandul merupakan teknik pemberantasan serangga dengan jalan memandulkan serangga jantan. Kemandulan adalah ketidakmampuan suatu organisme untuk menghasilkan keturunan. Gejala kemandulan akibat radiasi pada nyamuk jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin. Dasar teorinya adalah bila serangga betina hanya kawin satu kali dalam perkawinan tersebut dengan serangga jantan yang mandul, maka keturunan tidak akan terbentuk. Serangga jantan mandul dilepas di lapangan dengan harapan bisa bersaing dengan jantan normal alam dalam berkopulasi dengan serangga betina. Serangga betina yang telah berkopulasi dengan jantan mandul dapat bertelur, tetapi telurnya tidak dapat menetas. Apabila pelepasan serangga jantan mandul dilakukan secara terus menerus, maka populasi serangga dilokasi pelepasan menjadi sangat rendah. Dalam perkembangan selanjutnya TJM ini dikenal sebagai TSM karena berdasarkan pelaksanaan praktis untuk memisahkan serangga vektor jantan dan betina yang akan diradiasi tidaklah mudah, sehingga serangga mandul yang diradiasi dan dilepas di lapangan tidak hanya jantan tetapi juga betina. Dengan pelepasan serangga betina mandul bersama-sama jantan mandul, maka diharapkan bahwa kemungkinan terjadinya perkawinan antara jantan fertil dengan betina fertil berkurang. Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2 metoda yaitu:

  1. Metoda yang meliputi pembiakan masal dilaboratorium, pemandulan dan pelepasan serangga mandul ke lapangan. 
  2. Metoda pemandulan langsung terhadap serangga lapangan. 


Pengendalian Kimiawi

Selain fogging dan abatisasi, efektivitas Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk telah dilakukan terhadap jentik Aedes aegypti pada berbagai tipe penampungan air (TPA), yaitu drum (metal), bak mandi, gentong (tempayan) dan TPA lain terbuat dari bahan plastik. Penebaran B. thuringiensisH-14 galur lokal formulasi bubuk 0,1 mg untuk TPA dengan volume air 20 liter dilakukan tiga kali penebaran dengan interval waktu 2 minggu. Efektivitas B. thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk terhadap jentik Aedes aegyptipada berbagai TPA berlangsung 2 minggu. Penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Aedes aegypti sebesar 78,0 – 100% dan toksisitas residual B. thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk terhadap jentik B, thuringiensisH-14 galur lokal lebih besar 80% (87,40 - 100%) masing-masing setelah penebaran B. thuringiensis H-14 galur lokal I, II dan III pada evaluasi hari ke-14. Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk dapat digunakan sebagai agen pengendali vektor.

Selain itu dengan teknik radiasi, pengendalian nyamuk vektor dapat dilakukan dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma. Sinar gamma dapat berasal dari Cobalt-60 yang mempunyai waktu paruh 3,5 tahun atau cesium-137 dengan waktu paruh 30 tahun. Untuk mendapatkan vektor mandul dengan radiasi secara teoritis dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa. Hasil optimum dapat diperoleh dengan memilih stadium yang paling tepat untuk diradiasi. Stadium pupa merupakan stadium perkembangan dimana terjadi transformasi/perkembangan organ muda menjadi organ dewasa. Pada stadium ini umumnya spermatogenesisdan oogenesis sedang berlangsung, sehingga dengan radiasi dosis rendah (65-70 Gy) sudah dapat menimbulkan kemandulan. Dari hasil penelitian Yan Danielletahun 2005 menunjukkan bahwa pada dosis 65 Gy yang dilakukan pada stadium pupa nyamuk aedes aegypti sudah bisa memandulkan 98,53% dan 100% dengan radiasi 70 Gy. Umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbedabeda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun. Radiasi ionisasi secara umum dapat menimbulkan berbagai akibat terhadap nyamuk vektor, baik kelainan morfologis maupun kerusakan genetis. Derajat kelainan atau kerusakan yang terjadi akibat radiasi ionisasi tergantung kepada berbagai faktor yaitu faktor teknik radiasi (macam sinar, cara pemberian dosis dan laju dosis), faktor lingkungan (suhu, atmosfir dan faktor biologi) (perbedaan spesies dan variasi sel/jaringan).

Gejala-gejala kemandulan akibat radiasi pada vektor jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin. Selain digunakan dalam pemandulan vektor, teknik nuklir juga bisa digunakan sebagai penanda vektor. Karena radioisotop (seperti P32) dapat memancarkan sinar radioaktif, sehingga dipakai sebagai penanda keberadaan nyamuk aedes aegypti di lapangan. Penandaan vektor dianggap penting terutama untuk mempelajari bionomik (interaksi organisme dengan lingkungan) nyamuk di lapangan, seperti mempelajari jarak terbang, pola pemencaran, umur nyamuk, pemilihan hospes, siklus gonotrofi (siklus pematangan sel gamet) dan aspek bionomik yang lain. Dengan demikian penandaan nyamuk aedes aegypti dengan radioisotop dianggap sebagai cara penandaan paling tepat dan mudah, untuk mempelajari penyebaran dan jarak terbang nyamuk. Data ini sangat berguna untuk menunjang keberhasilan TSM dan penerapanya di lapangan. (Depkes, 1997).

Pustaka :

  • Huber, Drane. (2000). Dengue Haemorrhagic Fever and Nursing Care Management. (4th edition) Philadelphia: W.B. Sauders CO. 
  • Nadesul . (2009).Masalah-masalah yang menyulitkan pemberantasan DBD. http://rs-press.org//demam dengue-pasien+rs/layanan.html. Dibuka 03 Maret 2009.

Semoga apa yang tersaji dalam blog ini bermanfaat. Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan jika ingin di sebarluaskan dengan mencantumkan sumbernya yaa :) terima kasih.


EmoticonEmoticon