Makalah Ilmu Perilaku dan Etika Profesi

A. Pendahuluan

Era globalisasi telah membuat dunia seakan menjadi satu kesatuan informasi, kesatuan komunikasi, kesatuan pasar maupun kesatuan budaya. Hal ini tak lepas dari akibat modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, urbanisasi, sehingga terjadi perubahan sosial, perubahan ekonomi dan perubahan budaya yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek. Akibat selanjutnya, sistim nilai dan persepsi tentang baik dan buruk telah mengalami banyak perubahan; latar belakang sosial, budaya, ekonomi, telah membuateara memandang masalah yang tidak sama, belum lagi ditunjang dengan adanya motivasi dan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pengambilan keputusan untuk memberikan reaksi akan berbeda-beda.

Secara nasional pendapatan perkapita penduduk Indonesia setiap tahunnya bertambah, hal ini karenapertumbuhan ekonomi yang cukup mapan, sehingga golongan masyarakat mampu semakin bertambah banyak, berpendidikan dan menguasai informasi, sehingga mereka bisa memilih, bisa membayar yang sesuai dengan harapannya. Mutu pelayanan rumah sakit menjadi fokus tuntutan masyarakat; dalam persaingan antar rumah sakit yang semakin terasa dampaknya, maka mutu pelayanan akan menjadi salah satu alternatif utama bagi calon pasien dan keluarganya yang akan menggunakan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perilaku petugas di rumah sakit merupakan salah satu variable utama dalam mewujudkan mutu pelayanan rumah sakit yang baik, karena pasien menuntut pelayanan yang baik tidak hanya melihat kecepatan, ketelitian para petugas tapi juga perilakunya, seperti keramahan, perhatian, tidak membuat diskriminasi, sopan dan lain-lain.

B. Hal yang Menarik dari Pengobatan

Kasus yang mungkin banyak terjadi di rumah sakit Negara manapun yaitu :
* dr. C, ahli anastesi yang baru ditunjuk di RS di suatu kota, merasa terganggu dengan    tingkah laku dokter bedah senior di ruang operasi.  Dokter bedah tersebut  menggunakan teknik yang kuno yang dapat memperlama waktu operasi,  menimbulkan rasa sakit post-operasi yang lebih, dan waktu penyembuhan yang lebih  lama. Terlebih lagi dia membuat guyonan kasar mengenai  pasien yang jelas  mengganggu para perawat yang bertugas. Sebagai salah satu staff baru, dr. C merasa  enggan untuk mengkritik dokter bedah tersebut secara pribadi  atau melaporkannya  kepada pejabat  yang lebih tinggi. Namun dr. C merasa bahwa dia harus melakukan  sesuatu untuk memperbaiki situasi ini.
Hampir sepanjang sejarah yang tercatat dan hampir di setiap bagian dunia ini, menjadi dokter  merupakan sesuatu yang spesial. Orang datang kepada dokter untuk  mencari pertolongan terhadap kebutuhan mereka yang mendesak: bebas dari  rasa sakit, penderitaan, dan kembalinya kesehatan dan keadaan tubuh yang baik. Mereka mengijinkan dokter untuk melihat, menyentuh, dan memanipulasi setiap bagian dari tubuh, bahkan bagian yang paling intim. Mereka melakukan ini karena mereka percaya terhadap dokter agar bertindak menurut kepentingan terbaik mereka.

Banyak dokter yang merasa mereka tidak lagi dihormati sebagaimana mereka dulu dihormati. Di beberapa negara kontrol pelayanan medis telah bergeser dengan mantap menjauhi dokter kepada manager profesional dan birokrat yang sebagian melihat dokter sebagai penyulit dari pada partner dalam memperbaiki pelayanan medis. Pasien yang dulunya menerima perintah dokter tanpa ragu kadang meminta penjelasan mengenai rekomendasi yang diberikan dokter karena berbeda dengan saran yang didapatkan dari praktisi kesehatan lain atau dari internet. Beberapa prosedur  yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh dokter saja sekarang dapat dilakukan oleh teknisi, perawat, atau paramedis.

Selain perubahan-perubahan ini mempengaruhi status dokter, pengobatan  tetap merupakan suatu profesi yang dihargai tinggi oleh orang yang sakit yang membutuhkan layanan. Pengobatan juga tetap menarik banyak sekali mahasiswa yang berbakat, pekerja keras, dan berdedikasi. Untuk memenuhi  harapan pasien dan mahasiswa, penting bagi dokter untuk mengetahui dan memberikan  contoh nilai inti dari pengobatan terutama belas kasih, kompeten, dan otonomi. Nilai-nilai ini, bersama dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang utama merupakan dasar dari etika kedokteran.

C. Pentingnya Hubungan Antara Pasien dan Dokter

* dr. P seorrang ahli bedah yang berpengalaman, baru saja akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit tipe menengah. Seorang wanita muda dibawa ke RS oleh ibunya, yang langsung pergi setelah berbicara dengan suster jaga  bahwa dia harus menjaga anak-anaknya yang lain. Si pasien mengalami perdarahan vaginal dan sangat kesakitan. dr. P melakukan  pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. dr. P segera melakukan dilatasi dan  curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan  kepada pasien apakah dia bersedia opname di RS sampai keadaaanya benar-benar baik. dr. Q datang menggantikan dr. P, yang pulang tanpa berbicara langsung kepada pasien.

Interpretasi hubungan dokter-pasien secara tradisional adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien hanya bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik secara etik maupun hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia membuat keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka otonomi pasien kadang sangat problematik. Aspek lain dalam hubungan tersebut juga sama problematik seperti kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan pasien di era rekam medis dan manajemen perawatan sudah terkomputerisasi dan tugas dokter serta tugas tenaga medis lainnya untuk mempertahankan hidup juga mendapat permintaan untuk mempercepat kematian.

Profesi kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang mengenai persamaan dan hak-hak pasien. Satu sisi dokter paham bahwa tidak boleh ”membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau kecacatan, keimanan, etnik, jenis kelamin, nasionalitas, keanggotaan politik, ras, orientasi seksual, atau posisi sosial mengintervensi tugas saya dan paien saya” (Deklarasi Jenewa). Pada saat yang sama dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau menerima pasien kecuali dalam keadaan gawat. Walaupun  pembenaran penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan  praktek atau kurangnya spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak memberikan alasan penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan dokter  telah melakukan deskriminasi. Dalam hal ini  hati nurani pasien mungkin satu-satunya cara mencegah pelecehan terhadap hak-hak orang lain, bukan hukum ataupun penegak disiplin.

Bahkan walaupun dalam  memilih pasien dokter tetap menghargai dan memandang sama, dokter dapat saja tidak melakukan hal sama dalam hal perilaku dan perawatan yang diberikan kepada pasien. Kasus yang diberikan pada awal bab ini menggambarkan hal tersebut. Belas  kasih merupakan salah satu nilai inti dari pengobatan juga merupakan elemen pokok  dalam hubungan terapi yang baik. Belas kasih berdasarkan pada penghargaan terhadap kehormatan pasien dan nilai yang ada, dan lebih jauh lagi menghargai dan merespon terhadap kerentanan pasien dalam hal penyakit dan atau kecacatan. Jika pasien merasakan belas kasih dan penghargaan dokter, mereka akan lebih percaya terhadap dokter untuk bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien dan kepercayaan ini dapat menjadi andil terhadap proses penyembuhan.

D. Sifat Memaksimalisasi Keuntungan Industri Farmasi

Dalam sektor kesehatan, industri farmasi mempunyai pengaruh besar  terhadap rumah sakit dan berbagai organisasi pelayanan kesehatan. Besarnya omzet obat dapat mencapai 50-60% dari anggaran rumah sakit. Obat merupakan bagian penting dalam kehidupan rumah sakit, dokter, dan pasien. Oleh karena itu, perlu untuk memahami perilaku industri farmasi dalam konteks aplikasi ekonomi di rumah sakit.

Berdasarkan sifatnya obat-obatan ada yang mempunyai barang substitusi, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh untuk masyarakat yang membutuhkan obat-obat pelangsing tubuh, terdapat produk substitusi berupa peralatan fitnes untuk menjaga berat badan. Akan tetapi, obat-obatan di rumah sakit banyak yang tidak mempunyai barang substitusi dan merupakan barang komplemen untuk tindakan medik. Sebagai contoh, operasi di ruang bedah membutuhkan obat-obatan narkose. Dalam hal ini tidak ada pengganti untuk obat-obatan narkose. Tindakan untuk menjaga keseimbangan elektrolit membutuhkan cairan infus. Tidak adanya barang susbtitusi menjadikan obatobatan sebagai barang yang harus dibeli oleh pasien yang ingin sembuh dari suatu penyakit atau membutuhkan tindakan tertentu. Sering timbul kasus tidak adanya obat pengganti atau tindakan alternatif, akibatnya obat-obat tertentu yang bersifat menyelamatkan jiwa (life-saving) justru sangat mahal karena memang tidak ada pilihan lain.

Sebagai gambaran Gamimune®, sebuah obat berisi imunoglobulin untuk pasien yang berada dalam keadaan kritis karena mempunyai daya tahan rendah, mempunyai harga yang sangat mahal: 25cc seharga sekitar Rp 1.250.000,00 pada tahun 2001. Kebutuhan dalam proses pengobatan tidak hanya 25cc, mungkin sampai berkalikali. Contoh lain, obat-obatan untuk AIDS sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh penderita dengan kemampuan ekonomi rendah. Wajar jika keluarga pasien mengeluh karena mahalnya obat-obat di rumah sakit yang seharusnya membutuhkan nilai kemanusiaan.

Dalam hal ini memang timbul kesan bahwa industri farmasi memanfaatkan kesempatan pada saat manusia mengalami kemalangan dan tidak mempunyai pilihan lain karena tidak ada obat pengganti yang lebih murah. Para tenaga kesehatan yang berada di ICU atau OK sering mengalami keadaan ketika dihadapkan pada pilihan yang harus membeli obat mahal, keluarga pasien terpaksa harus menjual aset keluarga, berhutang, ataupun yang paling drastis adalah menghentikan proses penyembuhan karena tidak tersedianya sumber daya untuk membeli obat atau membiayai proses penyembuhan di rumah sakit.

Hambatan pertama masuk pada industri farmasi adalah aspek regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di Amerika Serikat regulator utama adalah Food and Drug Administration (FDA), sedang di Indonesia dipegang oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Proses pengujian obat di Amerika Serikat (termasuk dalam periode 1) berlangsung lama, bisa terjadi hingga 15 tahun dengan proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula kimia baru untuk menangani suatu penyakit, perusahaan obat harus melakukan uji coba pada binatang untuk mengetahui daya racun jangka pendek dan keselamatan obat. Selanjutnya, FDA akan memberikan persetujuan melakukan uji klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai dengan sekelompok kecil orang sehat dan berfokus pada dosis dan keamanan obat. Tahap II akan diberikan kepada sejumlah orang yang lebih banyak (sampai ratusan) yang mempunyai penyakit untuk menguji efikasi obat (kemanjurannya). Tahap III akan dilakukan keribuan pasien dengan berbagai latar belakang berbeda untuk menguji efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci. Dapat dibayangkan betapa berat dan mahal proses ini.

Faktor penghambat kedua adalah hak paten yang diberikan oleh pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil menemukan obat baru. Contoh yang paling hangat adalah hak paten untuk obat Viagra® yang sangat menguntungkan karena pembelinya banyak dan harga tinggi. Dengan adanya kebijakan paten maka perusahaan farmasi baru harus mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset tinggi atau memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada patennya lagi dengan risiko banyak pesaing. Setelah sebuah obat habis waktu hak patennya, perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi obat serupa. Oleh karena itu, hambatan untuk masuk menjadi lebih rendah, dan harga dapat turun. Obat-obat ini disebut generik yang dampak terapinya sama dengan obat bermerek.

Hambatan ketiga untuk masuk adalah sistem jaringan distribusi dan pemasaran industri farmasi yang sangat kompleks. Jaringan sistem distribusi dan pemasaran mempunyai ciri menarik yaitu menggunakan konsep ‘detailling’, yaitu perusahaan farmasi dengan melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktik di rumah sakit ataupun praktik pribadi. Kegiatan  detailing ini melibatkan banyak pihak dan mempunyai berbagai nuansa termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi saling menguntungkan antara dokter dan industri farmasi. Dalam komunikasi ini terbuka kemungkinan terjadi bentuk kolusi antara dokter dan industri farmasi. Dengan bentuk pemasaran seperti ini, akan sulit bagi pemain baru masuk dalam industri farmasi.

E. Apakah Terdapat Etika dalam Bisnis Farmasi?

Secara praktis harga obat memang sulit diturunkan. Di Indonesia keadaan menjadi lebih sulit karena pemerintah tidak mempunyai wewenang mengendalikan harga obat seperti yang dinyatakan Kepala BPOM Drs. Sampurno, MBA. Dinyatakan bahwa berbeda dengan Pemerintah Italia atau Kanada yang mengatur harga obat yang beredar di negara itu, atau India yang mengatur harga obat yang dianggap sangat esensial, Indonesia tidak secara langsung mengatur harga obat bermerek (branded). Indonesia hanya membuat program obat generik yang harganya ditetapkan pemerintaa.

Dalam keadaan ini apa yang dapat dilakukan? Pendekatan pertama adalah menekan harga obat mulai dari fase riset hingga pemasaran. Penekanan ini dapat menggunakan berbagai bentuk, termasuk pembiayaan riset oleh pemerintah atau masyarakat. Di samping itu, diharapkan kerja sama antara perusahaan obat yang mempunyai sistem produksi dan distribusi baik  dengan pemerintah untuk menyediakan obat murah terutama bagi masyarakat miskin. Pendekatan ini sedang dilakukan oleh TB Alliance, kelompok yang berusaha mengembangkan obat TB baru dengan dana campuran dari berbagai sumber, pemerintah, masyarakat, dan industri farmasi. Di samping itu, timbul usaha untuk memperpendek waktu paten, tetapi hal ini ditentang keras oleh industri obat.

Pendekatan kedua adalah menggunakan pendekatan etika. Harus ada nilai  normatif dalam bentuk etika yang dipunyai oleh sektor kesehatan dalam mengendalikan biaya obat. Nilai-nilai tersebut akan hadir apabila timbul kesadaran mengenai keterbatasan sumber daya untuk pengadaan obat, rasa kemanusiaan untuk menolong orang yang sakit dan sengsara, adanya hak pasien mendapatkan yang terbaik, kepercayaan bersama, dan adanya kesadaran mengenai pemilihan obat sebagai keputusan bersama. Harapan normatif yang disampaikan untuk sektor kesehatan dan industri farmasi. Banyak pihak yang skeptis terhadap pendekatan normatif ini, tanpa suatu peraturan tegas.

F. Pemecahan Konflik

Perbedaan di antara penyedia  layanan kesehatan mengenai hasil yang hendak  dicapai dari perawatan dan tindakan yang diberikan kepada pasien atau cara-cara yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut harus diklarifikasi dan dipecahkan oleh anggota tim medis sehingga tidak mempengaruhi hubungang dengan pasien. Perbedaan antara penyedia layanan kesehatan dan administrator yang berhubungan dengan alokasi sumber-sumber daya, harus dipecahkan di dalam lingkup fasilitas atau agennya, bukan debat di depan pasien. Karena kedua macam konflik ini menyangkut etika, maka diperlukan saran dari komite etik klinik atau konsultan etika dimana sumber tersedia.

Acuan yang diberikan dapat berguna dalam memecahkan konflik tersebut:

  1. Konflik harus diselesaikan seinformal mungkin seperti melalui negosiasi langsung antar orang yang tidak setuju. Penyelesaian melalui jalur yang lebih formal hanya dilakukan jika cara informal memang sudah tidak bisa lagi.
  2. Pendapat dari orang-orang yang terlibat langsung harus diperoleh dan dihargai. 
  3. Pilihan pasien yang berdasarkan pemahaman, atau dari wakil pasien yang sah untuk mengambil keputusan terhadap perawatan harus menjadi pertimbangan utama.
  4. Jika memang pilihan harus ditawarkan kepada pasien maka lebih baik menawarkan pilihan dengan lingkup yang lebih luas dari pada yang sempit. Jika terapi yang dipilih tidak tersedia karena keterbatasan sumber  maka pasien harus diberi tahu mengenai hal tersebut.
  5. Jika memang setelah usaha yang maksimal persetujuan atau kompromi tidak dapat dicapai melalui dialog, keputusan dari orang yang mempunyai hak atau bertanggung jawab dalam membuat keputusan harus diterima. Jika tidak jelas siapa yang bertanggung jawab membuat keputusan, maka harus dicari mediasi, arbitrasi atau ejudikasi. 

Jika penyedia layanan kesehatan tidak dapat mendukung keputusan  karena pendapat profesional atau masalah moral pribadi, maka diijinkan untuk menarik diri dari keikut sertaan dalam menerapkan keputusan, setelah memastikan bahwa orang yang menerima perawatan tidak beresiko tersakiti atau terlantarkan.

Sekian Semoga Bermanfaat

Semoga apa yang tersaji dalam blog ini bermanfaat. Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan jika ingin di sebarluaskan dengan mencantumkan sumbernya yaa :) terima kasih.


EmoticonEmoticon