BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masyarakat Indonesia mencapai hidup sehat seringkali tidak dapat dipisahkan dengan obat tradisional yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional, misalnya keadaan ekonomi, geografi maupun adat istiadat. Penggunaan obat-obat tradisional saat ini semakin marak, hal ini antara lain semakin meningkatnya harga obat-obat modern sehingga tidak dapat dijangkau lagi oleh masyarakat golongan bawah dan juga disebabkan karena pengobatan modern tidak selalu memberikan hasil seperti yang diinginkan hingga konsep “back to nature” yang dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), tengah menjadi fenomena sebagian anggota masyarakat.
Selain itu pemerintah telah berupaya mengembangkan obat tradisional agar dapat diterima dalam sistem kesehatan formal melalui pendekatan fisioterapi fitofarmaka. Akan tetapiu penggunaan obat-obat tradisional ini masih mendapat tantangan yang cukup tinggi di kalangan ilmuwan kedokteran karena standarisasi yang beelum jelas terutama dalam kadar, khasiat serta kandungan kimianya. Untuk itu diakukan perlu dilakukakn penelitian yang intensif, sehingga pemakaian obat tradisional dapat diterima secara luas.
Sesuai dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan suatu pelayanan kesehatan masyarakat maka penanganan obat tradisional serta pengembangannya seharusnya dapat menopang usaha pemerintah. Tujuan dari pengembangan obat tradisional adalah untuk mennunjang usaha peningkatan taraf hidup masyarakat di bidang kesehatan. Pengembangan obat tradisional agar bahan-bahan tersebut dapat semaksimal mungkin dimanfaatkan dan potensi tanaman obat dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga penggunaan obat tradisional untuk pengobatan mempunyai dasar-dasar yang kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Rasa nyeri dan pusing merupakan gejala penyakit yang sering diderita oleh masyarakat. Mengingat efek samping dari obat modern dan semakin mahalnya harga obbat modern maka sangat perlu dilakukan penelitian mengenai obat tradisional untuk menghilangkan rasa sakit atau nyeri.
Dewasa ini telah dikembangkan obat analgetik (untuk mengurangi rasa sakit) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai obat di masyarakat. Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah daun pepaya (carica papaya L).
Pada penelitian terdahulu menyebtkan bahwa infusa daun pepaya segar dapat memberikan efek analgetik pada mencit betina(rindhowati, 2003).
Dengan dasar inilah yang mendorong dilakukannya penelitian efek analgetik infusa daun pepaya pada mencit jantan.
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan dasar ilmiah penggunaan daun pepaya sebagai penghilang nyeri, sehingga dari hasilnya didapatkan manfaatkan antara lain adanya landasan yang lebih rasional dalam penggunaan daun pepaya sebagai anlgetik, dan bertambahnya kepustakaan obat tradisional terutama mengenai pepaya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah infusa daun pepaya mempunyai kemampuan analgetik pada mencit jantan yang diinduksi dengan asam asetat?
2. Bagaimana perbandingan daya analgetik infusa daun pepaya dengan parasetamol?
C. Tujuan
penelitiaan ini dilakukan dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui kemampuan infusa daun pepaya sebagai penghilang nyeri pada mencit jantan.
2. Untuk mengetahui daya analgetik infusa daun pepaya dengan parasetamol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Obat taradisional
Pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadapa ketiidakseimbangan fisik, mental atau sosial. Pedoman utama adalah pengalaman praktek, yaitu hasil-hasil pengamatan yang diteruskan dari generasi ke genarasi baik secara lisan ataupun tulisan yang berasal dari Indonesia ataupun luar Indonesia. Dalam kerangka pemikiran pengembangan obat tradisional Indonesia agar dapat menjangkau pelayanan kesehatan, maka obat tradisional Indonesia dibagi menjadi 3 kelompok , yaitu :
1. Kelompok jamu
Jamu adalah obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan tersbut yang dipergunakan dalam upaya pengobatan berdasarkan pada pendekatan warisan turun-temurun dan pendekatan empirik (Anonim, 2004). Atau obat dari bahan alam yang khasiatnya masih sepenuhnya didasarkan pada pengalaman dan bahan bakunya belum mempunyai persyaratan minimal yang ditetapkan (Anonim, 1992).
2. Kelompok obat herba berstandar
Obat herba berstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang maupun mineral. Obat pada jenis ini pada umunya ditunjang dengan pembuktian ilmiah ilmiah berupa penelitian-penelitian pra-klinik (Anonim, 2004).
3. Kelompok fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memiliki persyaratan yang telah berlaku (Anonim, 1992). Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah testandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia (Anonim, 2004).
Menurut undang-undang RI no. 23 tahun 1992, obat tradisional adalah bahan baku atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunkan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Anonim, 1992).
B. Tanaman pepaya
1. Sistematika tanaman pepaya
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Sub classis : Dialypetalae
Ordo : Parietales (Cistales)
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L
2. Nama daerah
Nama lain pepaya yaitu :
Sumatra : Pente (Aceh), botik (Toba), betik, kates (Palembang), kalikih (minangkbau), gedang (Lampung).
Jawa : gedang (sunda), ketela gantung, kates (jawa), kates (Madura), gedang (kangean).
Nusa tenggara : gedang (Bali), kates (sasak), gedang (sunda), kaut (timor), padu, muku jawa, kasi (flores).
Kalimantan : Gedang (sampit), pisang, mantela (Ngaju), kustel (banjar).
Sulawesi :kaliki riaure (bugis), papaya (manado), kapaya (minahasa), untijawa, tangangnikanre (makassar).
Maluku : papaya, titigano (Halmahera), kapaya (tidore), tapaya (ternate).
Irian jaya : Arsawa (mefor), manen (manisaber), siberiani (windesi).
3. Morfologi tanaman pepaya
Pepaya merupakan semak yang berbentuk pohon dengan batang lurus, bulat, di atas bercabang atau tidak, sebelah dalam berupa spon dan berongga, di luat terdapat bekas daun yang banyak, tinggi 2,5- 10 m (Steenis, 1997).
Daun berjejal pada ujung batang dan ujung bercabang tangkai daun bulat dan silindris, berongga, panjang 25-100 cm, helaian daun bulat telur, bertulang daun menjari, bercangap menjari berbagi menjari, ujung runcing dan pangkal berbentu jantung, garis tengah 25-27 cm, taju selalu bertekuk menyirip tidak beraturan (Steenis, 1997).
Bunga hampir berkelamin 1 dan berumah 2, tetapi kebanyakan dengan beberapa bunga berkelamin 2 pada karangan bunga jantan. Bunga jantan pada tandan yang serupa malai dan bertangkai panjang, kelopak sangat kecil, mahkota bentuk terompet, putiih kekuningan, dengan tepi yang bertajuk 5 dan tabung yang panjang, langsing, taju, berputar dan kuncup, kepala sari bbertangkai pendek dan duduk. Bunga betina biasanya berdiri sendiri, daun mahkota lepas atau hampir lepas, putih kekuningan, bakal bua beruang 1, kepala putik 5, duduk. Buah buni bulat telur memanjang atau bentuk peer (seperti bolam lampu), verdaging dan berisi cairan, di dalamnya berduri temple berjerawat (Steenis, 1997).
4. Kandungan kimia
Daun pepaya mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo kaarpaina, glikosida, karposid, dan saponin, sakarosa, dekstrosa, dan levulosa. Buahnya mengandung beta karoten, pektin, d-galaktosa, 1-arabinosa, papain, papyotmin papain, serta fitokinase (Anonim, 1998). Bijinya mengandung glukosida karisin dan karpain. Sedangkan getahnya mengandung papain, kemokupain, lisosim, lipase, glutamin dan siklotranferase ( Anonim, 1998).
5. Khasiat tanaman
Daun pepaya berguna untuk obat panas yang berkhasiat menurunkan panas, obat malaria, menambaah nafsu makan, meluruhkan haid dan menghilangkan sakit. Juga berguna untuk menyembuhkan luka bakar. Selain itu juga dapat sebagai obat cacing kremi, disentri, amoeba, kaki gajah, perut mulas dan kanker ( Thomas, 1989).
Buah pepaya berguna untuk obat mata yang memiliki khasiat mensuplai vitamin A, memacu enzim pencernaan. Buah matang seagai peluruh empedu, menguatkan lambung, antiscorbut, sedangka buah mengkal sebagai pencahar ringan, peluruh kencing, pelncar ASI dan abortivum ( Thomas, 1989).
Akar pepaya berguna untuk oat cacing, diuretik, penguat perut, batu ginjal, tidak datang haid, encok, digigit ular berbisa, perangsang kulit. Biji pepaya berguna untuk obat cacing yang memiliki khasiat membunuh cacing, pelancar haid, pembesaran hati dan limfe. Getah pepaya muda berkhasiat untuk luka bakar, jerawat, kutil dan eksim ( Thomas, 1989).
6. Simplisia
Nama simpleks dari daun pepaya adalah Carica papaya L. Simplisia adalah bahan alamia yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang yelah dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral) (Anonim, 1986)
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh bagian tanaman atau eksudat tumbuhan yaitu sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Anonim, 1986)
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni (Anonim, 1986). Simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau sudah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Anonim, 1986)
7. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada suhu 90° C selama 15 menit. Penyaringan dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang, oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Anonim,1986).
Infusa dibuat dengan cara menghaluskan simplisia lain yang akan digunakan, kemudian dicampur dengan air yang secukupnya dalam sebuah panci dan dipanaskan didalam tangas air selama 15 menit, dihitung mulai suhu didalam panci mencapai 90° C, sambil sekali-sekali diaduk. Infusa diserkai sewaktu masih panas melalui kain flanel. Jika kekurangan air, ditambahkan air mendidih melalui ampasnya. Influsa simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai setelah dingin (Anonim, 1986)
Infus daun sena, infus asam Jawa dan infus simplisia lain yang mengandung lendir tidak boleh diperas. Asam Jawa sebelum dibuat infus dibuang bijinya dan diremas dengan air hingga diperoleh massa seperti bubur, buah adas manis dan buah adas harus dipecah dahulu. Pada pembuatan infus kulit kina ditambah larutan asam sitrat P 10% dari bobot bahan berkhasiat. Pada pembuatan infus simplisia yang mengandung glikosida antrakinon, ditambah larutan natrium karbonat P 10 % dari bobot simplisia. Kecuali dinyatakan lain dan kecuali untuk simplisia yang tertera di bawah ini, infus yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras dibuat dengan menggunakan 10% simplisia. Untuk pembuatan 100 bagian infus berikut, digunakan sejumlah yang tertera :
a. Kulit kina 6 bagian
b. Daun digitalis 0,5 bagian
c. Akar ipekak 0,5 bagian
d. Daun kumis kucing 0,5 bagian
e. Sekale kornutum 3 bagian
f. Daun sena 3 bagian
g. Temulawak 4 bagian
8. Nyeri
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi jasad renik, atau kejang otot ( Tjay dan Raharja, 2002). Selain itu rasa nyeri merupakan pertahanan tubuh, rasa sakit timbul bila adanya jaringan rusak, dan ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Rasa sakit dapat dibagi 2 macam rasa nyeri utama : rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan rasa nyeri lambat akan timbul setelah satu detik atau lebih dan kemudian rasa nyeri ini secara perlahan untuk satu periode beberapa detik dan kadangkala selama beberapa menit (Guyton, 1997)
Rasa nyeri cepat juga dapat digambarkan dengan banyak nama pengganti, rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, rasa nyeri elektrik, dan sebagainya. Tipe-tipe ini akan terasa bila sebuah jarum suntik ditusukkan kedalam kulit atau bila kulit tersayat pisau, dan rasa nyeri ini juga akan terasa bila subyek mendapat syok elektrik. Rasa nyeri cepat, rasa nyeri tajam tak akan terasa di sebagian besar jaringan dari dalam tubuh. Sedangkan rasa nyeri lambat diberi banyak nama tambahan seperti rasa nyeri terbakar, rasa nyeri pegal, rasa nyeri berdenyut-denyut, rasa nyeri mual, dan rasa nteri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung lama, menyakitkan dan menjadi penderitaan yang tidak tertahankan. Rasa nyeri ini dapat terasa di kulit dan di hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton, 1997)
Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien mersakan sebagai hal yang tidak mengenakkna, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Rasa nyeri dapat menyebabkan terjadinya reaksi refleks motorik dan reaksi psikis, reflek motorik berupa refleks ‘penarikan diri’ yang menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsangan yang berbahaya, sedangkan reaksi psikis terhadap nyeri meliputi semua aspek nyeri seperti sedih, cemas, menangis, depresei, mual, dan ketegangan otot yang berlebihna di seluruh tuuh. Reaksi psikis ini sangat bervariasi dari satu orang dengan orang yang lain tergantung dari sifat dan kepribadian (Giyton, 1997)
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis atau kimiawi atau fisis, dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara laian dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang, ang mengaktifasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nociceptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neiron dengan amat banyak sinaps, melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum lanjutan dan otak tengah. Dari Thalamus (opticus) impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri otak besar, diamana impuls dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, plasmalanin (antara lain bradikinin) dan prostaglandin, juga ion-ion kalium. Zat-zat ini dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang dari jaringan otot, yang selanjutnya mengaktivir reseptor-reseptor nyeri (Tjay dan Raharja, 2002).
Yang termasuk mediator nyeri yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada konsentrasi H+ lebih lanjut. Kerja lemah yang mirip dimiliki kalium yang keluar dari ruang sel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam intestisium pada konsentrasi 20 mmol/L menimbulkan rasa nyeri. Demikian pula berbagai neurotransmiter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/L) terbukti sebagai zat nyeri.
Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri lain sehingga senyawa ini bersama-sama senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tak berkhasiat, dapat menimbulkan nyeri. Pada konsentrasi tinggi asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin, merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari kelompok neurotransmiter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk senyawa mediator nyeri terkuat. Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan disamping itu hal ini menjadi penentu dalam lamanya nyeri (Mutschles,1986).
Berdasarakan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer, dengan analgetik perifer.
b. Merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya anastetik lokal.
c. Blokade pusat nyeri di SSP dengan anlgetik sentral (narkotik) atau dengan anastetik umum. Kualitas nyeri berdasarkan lokalisasi dibagi menjadi 2 yaitu nyeri somatis dan nyeri viseral.
Nyeri somatik adalah rasa nyeri yang berasal dari kulit, otot, persendian, tulang, atau jaringan ikat, yang dapat dibagi atas 2 kualitas yaitu permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertemoat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Sedangkan nyeri dalam (viseral) atau nyeri perut mirip dengan nyeri dalam sifat menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang ( Mutschler, 1986).
Pada pengobatan nyeri dengan analgetik, faktor-faktor psikis turut memainkan peranan, misalnya kesabaran individu dan daya mencekal nyerinya. Nyeri ringan dapat ditangani oleh obat analgetik perifer, seperti parasetamol, asetosal, mefenamat, propilfenazon, atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat ditambakan kofein ata kodein. Nyeri yang disertai pembengkakan atau akibat trauma (jatuh, tendangan, tubrukan) sebaiknya diobati dengan suatu analgetik anti radang, seperti aminofenazon dan NSAID (mefenamat, niflumenat).
Beberapa hal tentang nyeri :
a. Penggolongan rasa nyeri
Nyeri dapat dibagi menjadi lima, yaitu :
1) Nyeri akut : nyeri yang terjadi mendadak dan memberikan respon terhadap pengobatan.
2) Nyeri ringan
3) Nyeri sedang
4) Nyeri berat
5) Nyeri kronik : nyeri yang menetap selama lebih dari enam bulan dan sulit untuk diobati atau dikendalikan.
6) Nyeri superfisial : nyari dari daerah permukaan, seperti kulit,dan selaput mukosa.
7) Nyeri somatik : nyeri dari otot rangka, ligament dan sendi.
8) Nyeri visceral dan nyeri dalam : nyeri dari otot polos dan otot rangka. (kee dan Hayes, 1996).
b. Cara mempengaruhi nyeri
Untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat beberapa kemungkinan :
1) Mencegah sensibilisasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dan analgetik yang bekerja perifer.
2) Mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memiliki anastetik permukaan atau anastetik infiltrasi.
3) Menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetik konduksi.
4) Meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerj dalam sistem saraf pusat dengan analgetik yang bekerja pada pusat atau obat narkosis.
5) Mempengaruhi pengalamn nyeri dengan psikofarma (transquilizer, neuroleptika, antidepresiv) (Mutschler, 1986).
c. Terapi jenis-jenis nyeri
Pada pengobatan dengan analgetik, faktor-faktor psikis turut memainkan peranan misalnya kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien. Tergantung dari jenis nyeri dapat digunakan :
1) Nyeri ringan, seperti sakit gigi, sakit kepala, nyeri haid dan lainnya. Obat yang digunakann yaitu analgetik perifer misalnya asetosal dan parasetamol.
2) Nyeri ringan yang menahun, seperti rematik dan artrosis. Obat yang digunakan yaitu yang berkhasiat anti radang golongan salisilat, ibuprofen, dan indometasin.
3) Nyeri yang hebat, seperti nyeri organ bagian dalam. Obat yang digunakan yaitu analgesik sentral, misalnya morphin dengan athropin, butilskopolamin atau kamilopen.
4) Nyeri hebat menahun, misalnya kanker, atau kadang-kadang rematik dan neuralgia. Dalam hal ini yang berguna adalah obat-obat yang berkhasiat kuat, anatara lain analgetik narkotik fentanil, dekstromonamida atau bazitramida, bila perlu bersama suatu neuroleptika dengan kerja analgetik seperti levomepromazin (Nazina®) (Tjay dan Raharja, 1986).
9. Analgetik
Analgetik atau obat-obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilagkan kesadaran. Analgetik dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu analgetik narkotik dengan kerja sentral dan analgetik non narkotik dengan kerja perifer :
a. Analgetik narkotik
Zat-zat ini mempunyai daya menghilangkan nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di sistem sentral. Mereka umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia), lagipula mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi), serta ketergantungan fisik dan psikis (ketagihan, adiksi) dengan gejala-gejala abstinensi (menarik diri dari lingkungan) bila pengobatan dihentikan (Tjay dan Rahardja, 1986).
b. Analgetik non narkotik
Obat-obat ini juga dinamakan analgetik perifer, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Secara kimia analgetik non narkotik dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu :
1) Parasetamol
2) Salisilat, asetosal, salisilamida, dan benorilat
3) Penghambatan prostaglandin ( NSAID) : ibuprofen (Artrifen)
4) Derivat-derivat pirazolinon : aminofenazon, isopropilfenazon.
5) Lainnya : benzidamin
10. Teknik uji analgetik
Persyaratan untuk setiap metode berbeda-beda, sesuai dengan hewan percobaan yang digunakan. Beberapa metode uji daya analgetik antara lain :
a. Metode induksi secara kimia (metode siegmund)
Pada metode ini obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang di induksi secara kimia pada hewan percobaan mencit. Rasa nyeri ini pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan geliat, frekuensi ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (anonim, 1991).
b. Metode induksi nyeri cara panas (metode hot plate)
Hewan percobaan ditempatkan di atas lempeng panas dengan suhu tetap sebagai stimulus nyeri, akan memberikan respon dalam bentuk mengangkat atau menjilat telapak kaki dengan atau meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon disebut waktu reaksi, dapat diperpanjang dengan oba-obat analgetik. Perpanjangan waktu raksi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgetik (turner,1965)
c. Metode penapisan analgetik untuk nyeri sendi analgetik tertentu dapat mengurangi atau meniadakan rasa nyeri sendi, tipe rasa nyeri arthtritis pada hewan percobaan yang ditimbulkan oleh suntikan intra artikular larutan AgNO3 1% (anonim, 1991)
11. Paracetamol
Asetaminofen (paracetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan khasiat analgetik dan antipiretik yang sama (sedikit lebih lemah daripada asetosal) dan telah digunakan sejak tahun 1893. Asetaminofen di indonesia dikenal dengan nama paracetamol (tjay & rahardja, 2002)
Efek samping paracetamol lebih ringan, khususnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euforia (perasaan nyaman) dan ketergantungan psikis, karena tidak menimbulkan pendarahan lambung seperti asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir paracetamol banyak sekali digunakan di indonesia sebagai analgetikum-antipiretikum yang aman (tjay & rahardja, 2002)
Paracetamol merupakan obat analgetik antipiretik yang aman dan popular di masyarakat dikarenakan efek samping yang relatif rendah, sehingga paracetamol menjadi alternatif yang efektif untuk pengobatan nyeri seperti sakit kepala dan sakit gigi. Asetaminofen merupakan obat analgetik lemah yang bekerja mempengaruhi proses sintesis dari prostaglandin yang berperan dalam mekanisme nyeri, reaksi radang dan demam (kee & hayes, 1996)
BAB III
METODE
A. Metode
1. Cara kerja
a. Mencit 35 ekor yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram, dibagi menjadi 5 kelompok.
b. Mencit kelompok pertama sebagai kontrol negatif diberi aquades dengan dosis 25 ml/kg BB per oral.
c. Mencit kelompok kedua sebagai kontrol positif diberi paracetamol dengan dosis 91 mg/kg BB per oral.
d. Kelompok ke tiga, empat dan lima diberi infusa daun pepaya dengan dosis masing-masing dengan dosis 2,5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB per oral.
e. Lima menit kemudian seluruh kelompok hewan yang mendapat perlakuan disuntik intraperitoneal larutan steril asam asetat 0,5 %.
f. Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (perut kejang dan kaki ditarik ke belakang)
g. Hitung jumlah geliat selama 1 jam pengamatan.
2. Alat dan bahan
a. Alat:
Spuit injeksi (0,1 – 1 ml)
Jarum oral (ujung tumpul)
Beker gelas
Stop watch
b. Bahan:
Aquades
Paracetamol
Infusa daun pepaya
Larutan steril asam asetat 0,5 %
Mencit jantan galur swiss yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 g.
DAFTAR PUSTAKA
Ikawati, zullies. Diakses melalui http://reocities.com/tokyo/bay/5354/analgetik.htm. diunduh pada tanggal 07 mei 2012.
Goodman and Gilman,2006,The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th Ed.,McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
Katzung, G.Bertram.,2007,Basic & Clinical Pharmacology – 10th Ed.,The McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
2 komentar
maaf mau tanya. boleh minta data pengamatannya ga ka?
maaf, data pengamatannya hilang ..
maaf banget ..
EmoticonEmoticon